Refleksi 3 Tahun Menjadi Motorist Teacher (Sarana dan Prasarana)

Berangkat Mengajar dengan Revo
Alat yang dibutuhkan dalam beraktifitas untuk mengajar adalah motor. Sepeda motor atau bronfit adalah sahabat utama dalam keseharian saya. Alat yang membuat saya bisa berpindah-pindah mengajar dari satu kantor ke kantor unit yang lain. Namun motor bukan satu-satu alat pendukung saya dalam mengajar, ada senjata utama untuk berkreasi di depan kelas yaitu Spidol 3 Warna. Spidol 3 warna terdiri dari warn hitam, merah dan biru. Kebijakan kantor untuk menerangkan dengan metode warna-warni agar lebih semarak. Spidol inilah yang menjadi alat ngartun di kelas, artinya kerap kali mengajar menggunakan bahasa visual dalam bentuk gambar agar unik dan siswa dapat menerima dengan memori yang lebih panjang. 
Kembali ke masalah motor, sudah tiga kali saya ganti motor selama menjadi motorist teacher.  Motor pertama dan kedua sama-sama bebek: ada Yamaha Fiz yang suka berasap Honda Supra Fit yang kalau banjir mogok dan Honda Revo merah yang melesat. ada juga additional player dalam berangkat mengajar yaitu sepeda ulung dan sepeda lipat (seli).
Yamaha Fiz Sahabat Sejak SMA
Sepeda Fiz yang nama aslinya seharusnya F1 Z adalah produk keluaran Yamaha yang menggunakan mesin 2 tak. Jelas lebih berisik dan kaya akan asap. Sejak akhir era 90-an tepatnya selepas lulus SMA, aku menggunakan motor ini. Dan tahun 2007 menggunakan kembali untuk bekerja. Motor ini adalah awal dari debutku untuk mulai mengendarai kendaraan bermotor setelah sebelumnya bertahun-tahun lebih menggunakan sepeda angin. Motor ini sangat minum bensin sehingga tidak heran harus sering keluar masuk SPBU. Tapi untuk masalah kecepatan dan tarikan tidak bisa diragukan. Motor ini pernah mempunyai prestasi dengan standing (terangkat ke atas) di gerbang SMA N 2 Lamongan bersama Indah Setyorini, sahabat yang pernah satu kelas dan teman dalam eskul Teater. Motor ini kerap mogok jika ada hujan deras atau tergenang dan kalau dibawa ke bengkel mendapat diskriminasi karena emang motor lawas yang oldiest dan menyusahkan. Tahun 2009 motor ini telah paripurna dan di beli tetangga desa dengan harga yang cukup dramatis (di bawah 2 juta rupiah).

Honda Supra Fit (2008-2011)

Tahun 2009 tepatnya pada pertengahan, Mak di desa mengabarkan kalau baru beli motor lagi. Akhirnya motor aku tukar dengan motor yang lebih beradab dan tidak minum bensin. Honda Supra Fit, motor kedua yang menemani bekerja, berangkat dan pulang mengajar antar kota dalam provinsi. Pada masa awal menggunakan motor ini, terjadi gegar budaya (Culture Shock) karena bensin yang tidak habis-habis. Saya sempat berpikir kalau motor ini ada cheat: Unlimited Gasoline :). Tenyata memang sistem kerja 4 tak lebih ramah dengan duit tapi jahat dengan petugas SPBU karena frekuensi isi bahan bakar menjadi lebih berkurang. Motor ini mempunyai kekurangan pada masalah kelistrikan dan knalpot yang terlalu rendah. Jika sedang hujan deras dan kebanjiran kerap harus membawa manual dalam kubangan. Motor ini mengalami ending yang menyedihkan karena pada masa pengabdiannya harus turun mesin dan habis dana yang tidak sedikit. Kini motor ini telah kutaruh di rumah kampung untuk mobilitas ortu kalau ada keperluan. Supra emang motor yang lebih cocok untuk kalangan lebih tua (baca: sepuh). Mesin yang baru pasca turun mesin membuatku selalu berpikir akan keadaan oli mesin dan ada sedikit trauma, jika telah 1500 km segere ke bengkel untuk ganti oli.
Motor Honda Ulung..Pinjam Andika 
Motor merah yang unik dan imut. Honda ulung sebagai salah satu motor jadul yang enak buat jalan-jalan di kota. Salah satu teman kos Ijo Andika (Andik Lilis) mempunyai motor ini dan kebetulan sering tidak dipakai. Timbul keinginan untuk meminjam untuk dibuat bekerja. Namanya juga motor jadul, masalah mogok dan kelistrikan adalah adalah hal biasa. Biasanya setelah dihidupkan kalau gas ditarik langsung mati dan harus diulang beberapa kali. Jika saya memakai motor ini, banyak orang yang melihat. Bukan motor atau orangnya yang keren tapi karena posturku dengan motor yang tidak sebanding. Pengamalam yang tidak akan terlupakan saat memakai motor ini adalah saat harus berpindah mengajar dari kantor Jl. Jimerto menuju ke Jl. Prapen. Waktu yang tersedia cuma 30 menit. Jika menggunakan motor yang lain, waktu segitu bukan masalah. Tapi karena memakai Honda Ulung yang hanya bisa berlari dengan kecepatan maksimum 60 km/jam maka jika mengikuti rumus kecepatan V=s/t jelas sulit untuk tepat waktu apalagi ditambah dengan bonus mogok jika ada di lampu merah. Petang itu, ketika di lampu merah Jl. Prapen motor ini mogok dan setelah berusaha keras tetap mesin tidak mau menyala. Akhirnya dalam suasana yang panik dan dikejar waktu yang semakin terbatas, terpaksa motor saya tuntun dengan setelah berlari ke arah kantor yang cuma berjarak sekitar 300 meter. Keringat bercucuran dan kepanikan terus bertambah saat berlari sambil melirik jam tangan. Akhirnya setelah berlarian beberapa menit sampailah saya di depan kantor. Meski mepet dengan jadwal mengajar, iseng-iseng saya coba menyalakan motor tua ini dan hasilnya ternyata mesin menyala dan normal kembali.

Lebih Bugar dengan Seli


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Refleksi 3 Tahun Menjadi Motorist Teacher (Sarana dan Prasarana)"

Post a Comment