Jer Basuki Mawa Bea


Receh...
Etnokartunologi (Watesroom). Apa yang kita cari dari aktivitas sehari-hari? ada beberapa orang yang menjawab sedang menjadi jati diri, ada yang bilang mencari kebahagiaan dan bagi yang telah kerja yang dicari adalah duit. UUD bukan lagi dijadikan dasar kehidupan sebagaimana beberapa kalangan yang pernah mengalami masa Orde Baru, namun UUD hari ini dimaknai Ujung-ujungnya duit. Ekonomi duit dan politik berbasis duit, sudah merasuk dalam jiwa raga warga negara. Negara juga kelimpungan mengurusi penggunaan APBN yang harus diposkan pada bidang-bidang tertentu, belum lagi kalau kena tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi. Postingan kali ini saya tidak bicara tentang uang negara tapi perputaran duit yang saya lakukan satu setengah tahun ini.
Gambar di atas adalah kumpulan duit receh yang berguna bukan hanya bayar kencing di terminal namun bisa buat jaga-jaga menghadapi tanggal tua, membeli sayur mayur untuk masak di kantor. Apapun hari ini butuh duit, dari lahir ke dunia ada biaya persalinan sampai pada mati ada biaya pemakaman. Jer Basuki Mawa Bea adalah ungkapan bagi orang Jawa yang menganggap bahwa segala sesuatu memerlukan biaya. Tidak ada usaha yang tidak bermodal, kalau diartikan secara luas modal bukan hanya modal sejumlah uang, namun ada yang dinamakan dengan modal sosial (tema pokok dari tesis yang saya tulis). Pengeluaran duit juga ada tingkatan tergantung pada tingkat inflasinya pula, dulu masa SD uang sekolah tidak sampai Rp 5000, karena saat itu duit segitu kalau hari ini bisa sebanding dengan lima puluh ribu hari ini. Semenjak sekolah lagi pada tahun 2012, setiap kali masa pembayaran SPP ada rasa takjub melihat kumpulan duit yang digunakan sebagai modal menimbah ilmu di kawah candradimukha Bulak Sumur.
...duit SPP...


Ada petuah mengatakan kalau mengeluarkan harus memasukan supaya seimbang, ada output harus ada input. Mengingat menjadi perantau itu membutuhkan banyak pengeluaran untuk hidup maka saya memutuskan untuk tetap bekerja walaupun kuliah. Menjaga Financial equilibrium (istilah keseimbangan keuangan ala Roikan) perputaran modal agar terus berputar, kuliah setengah hari, ngantor setengah malam. Pendapatan yang tiap bulan didapat dari bekerja sudah cukup untuk menghidupi diri sendiri dari makan, pulsa sampai biaya pontang-panting dari Jogja-Malang pp.
...buah kerja keras...
Ngartun merupakan aktivitas yang mengasyikan, mencerahkan dan tentu saja dapat mensejahterahkan. Tentu saja harus dijalani dengan totalitas agar mendapat hasil karya yang memuaskan orang lain. Dalam kunjungan ke teman-teman kartunis di Jawa Tengah pada awal tahun 2014, setelah berdiskusi dengan Irtun (Irjen Kartun) Djoko Susilo di Kendal, saya merenungkan bahwa ada kartunis yang berkarya untuk diri sendiri dan ada yang untuk orang lain. Berkarya untuk diri sendiri, lebih mengandalkan ekspresi diri tanpa melihat kebutuhan orang banyak, sedangkan berkarya untuk orang lain kartunisnya lebih tahu konteks. Ketika tinggal di Surabaya, pada tahun 2010 sempat ada teman yang melalui info dari mulut ke mulut merekomendasikan kepada teman-temannya yang lain untuk pesan gambar wajah sederhana ke saya. Mulanya biasa saja (mirip lagu nostalgia) tapi lama-lama jadi luar biasa, setelah beberapa order numpuk, punggung jadi kencang tapi suatu saat ada bejibun duit biru yang cukup lumayan. Tapi saya tidak pernah untuk melakukan akumulasi modal karena sadar kenikmatan dari pemasukan tidak terduga adalah dengan sering berbagi dengan sesama. Ngopi bareng, sesekali mentraktir teman-teman menjadikan hidup lebih guyup, berwarna dan barokah. Pada akhirnya diperlukan kesadaran bahwa orang hidup dalam kerja bukan hanya mencari duit semata, apalagi sampai kejar setoran mati-matian untuk menambah ketebalan dompet. Woles wae kata orang Jogja, nikmati apa yang aja dan jika ada yang lebih banyak dapatnya tidak perlu iri cukup bilang Aku Rapopo. Salam Super untuk semua, wong ngangsu banyu samudra.

...hasil ngartun...
Bonus Track:
...pura-pura berduit...

...dapat arisan.


Subscribe to receive free email updates: