Kereta Malang

"sayang tak lamakantukku datanghingga tertidur nyenyak sekaliwahai ketika aku terbangunrupanya haripun sudah pagihingga tiada aku sadariaku tlah tiba di surabayacuk kicak kicuk kicak kicukkereta berhenticuk kicak kicuk kicak kicukhatiku gembira" 
Sebuah potongan lirik lagu dangdut lama yang bercerita tentang kereta api dan lagu ini sekarang sedang naik daun. Walaupun lagu lama namun setelah mengalami aransemen ulang dan rombak sana-sini seperti lagu baru. Itulah yang terjadi dalam musik Indonesia, yang aransemen di anggap lagu baru dan belum tentu semakin baik dari lagu aslinya. Namun postingan kali ini saya tidak bicara tentang musik, tapi tema dalam potongan lirik di atas yaitu kereta api. Sejarah hidup mencatat, saya naik kereta api pertama kali seumur hidup pada waktu berangkat diklat teater CITRA SMADALA pada akhir tahun 90-an ketika kelas satu SMA (jaman masih unyu tentunya). Setelah itu kereta menjadi langganan untuk perjalanan kemanapun baik dalam propinsi maupun antar propinsi. Bahkan pernah naik kereta KRD dari Lamongan ke Surabaya dengan posisi di atas gerbong, alasannya bukan adu kanuragan tapi sudah beli tiket tapi tidak ada tempat duduk lagi. Sensasinya begitu mencekam dan perlu kosentrasi tinggi karena sering ada kabel yang melintang di atas kereta. 
Don't Try This at Home 
Salah satu moda transportasi yang dapat mengangkut orang banyak dan menjadi cerita pula dalam postingan kali ini. Jika judul lagu di atas adalah kereta malam, tidak jauh dari judul postingan kali ini adalah kereta malang. Perjalanan mingguan dari Jogjakarta menuju Malang, selain naik bus, kereta juga menjadi alternatif jika ingin lebih santai dan mengejar waktu. Kereta langganan bernama Malioboro Ekspress yang sering saya plesetkan menjadi Sarkem Xprez karena letak sarkem (wisata 'kulinner' Jogjakarta) yang tidak jauh dari Malioboro. Masalah harga tiket kereta berbeda dengan bus karena harga tiket kereta mirip anak ababil yang labil dan fluktuatif. Seperti naik pesawat terbang yang harga tiketnya berubah-ubah dan tergantung pada hari. Kadang saya dapat 'hari baik' dari Jogja ke Malang hanya cukup membayar Rp 80.000 saja, sebuah kesempatan langka yang selalu ditunggu di monitor reservasi tiket. WUZZ.... melaju kencang dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Malang. 
Lorong Stasiun Tugu 
15 Desember 2013 pukul 21: 40 WIB dari pintu masuk sebelah selatan Stasiun Tugu untuk menuju jalur 2 tempat kereta malam Jogja-Malang kita akan melewati sebuah lorong yang menjadi jalan pintas ke dalam ruang tunggu stasiun. Lorong putih yang membuat saya banyak menghayal di sini, dari membayangkan ada gerombolan zombie ala Resident Evil, T-rex ala Jurrasic Park sampai membayangkan terowongan Mina ala ibadah haji. Bukan hidup namanya kalau kita tidak menggunakan otak untuk berpikir dan hidup terasa kurang denyutnya jika tidak menggunakan otak untuk berkhayal. Lorong adalah sebuah ranah merenung dan berintrepretasi bahwa hidup perlu melewati lorong sebelum sampai pada titik terang, istilahnya sirotol mustakim. Entah dilorong kita tersesat, jatuh atau mencapai titik capai semua tergantung pada usaha kita sendiri juga. 
Lorong dapat melahirkan berbagai persepsi. Karena menurut Spradley (1972: 11) sebuah persepsi merupakan catatan dalam representasi mental kita terhadap beberapa masukan terkait lingkungan sekitar kita. Termasuk dalam dunia perkeretaapian, kita akan bertemu dengan segala sesuatu yang berlorong-lorong. Gerbong, terowongan sampai jalan kereta api yang lurus. Tapi bukan berarti segalanya lurus-lurus saja, Desember 2013 publik dikejutkan oleh berita kecelakaan kereta di Bintaro sebagai tragedi Bintaro II, semoga tidak ada kejadian serupa dikemudian hari. 
Malioboro Xpress
Tiba di dalam gerbong ekonomi 3 kursi 15 D, saya terduduk di dekat jendela (posisi paling favorit dalam mode transportasi apapun) setelah meletakan tas dan mengambil barang-barang penting anti galau lintas provinsi. HP, ear phone, buku, kindle dan termos isi air putih. Duduk bersebelahan seorang pemuda yang ketika saya tanya mau turun Kediri dengan tujuan akan kembali ke Pondok Pesantren. Rupanya seorang santri, namun berbeda dengan pondok pesantren jaman SMP dulu ia tinggal dalam asrama dalam pondok yang pengajarannya tidak seperti pondok Salaf. Setelah pembicaraan awal, kurang lengkap rasanya jika tidak mengulik lebih jauh tentang kehidupannya kebetulan pemuda ini berasal dari Banyuwangi, namun dibesarkan di tanah Papua. Otomatis kurang paham dengan bahasa Jawa, jadi sepanjang pembicaraan menggunakan bahasa Indonesia EYD (Ejaan yang diakrabkan). Mendengar kata Papua tepatnya Nabire maka hal pertama yang saya tanyakan adalah tentang biaya hidup. Sang pemuda mengatakan kalau ditempatnya yang kebetulan sudah bisa dikatakan kota, harga kebutuhan tidak semahal di daerah pinggiran. Penjual berbagai barang kebutuhan dan makanan rata-rata didominasi oleh pendatang dari luar Papua, ada dari Jawa, Bugis sampai Madura. Satu porsi ayam goreng dengan penjual orang Lamongan dipatok dengan harga 20 ribu ke atas. Satu karung semen bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Harga makanan dipengarui oleh harga ayam yang kadang naik turun tergantung pasokan. Setelah itu pembicaraan beralih ke masalah kelompok pendatang dan penduduk asli. Sang pemuda bercerita tentang rawannya keamanan bagi pendatang khususnya bulan desember, bulan bertepatan dengan hari jadi OPM (organisasi Papua Merdeka, yang menuntut kemerdekaan atas tanah Papua, lepas dari Indonesia). Ia baru saja menelpon Ibunya dan dikabarkan ada seorang tukang ojek yang terbunuh. Pada bulan Desember ada semacam pemberlakukan jam malam bagi masyarakat, tidak boleh keluar sembarangan di atas pukul sembilan malam. Katanya ada temannya yang menjadi anggota OPM yang dikatakan sebagai sosok yang baik dan bisa bergaul dengan semua orang, meskipun secara ideologi berbeda. 
Pembicaraan berlanjut pada sesi pancamakara seiring kereta melintas ke timur melaju di atas kawasan Klaten. Saya menanyakan tentang kebiasaan minum yang dilakukan oleh masyarakat Papua khususnya Nabire. Ternyata orang mabuk sampai tertidur di jalan serasa menjadi pemandangan keseharian yang biasa.   Minuman lokal di sana sejenis tuak dan ada yang diambil dari luar daerah yaitu arak CT (cap tikus). Warung minuman buka hampir 24 jam, karena jika malam hari tutup dapat dipastikan akan dicari oleh konsumen sampai diketuk malam hari. Minuman impor juga tesedia mulai dari Jack D sampai Red Label. Tidak terasa kami ngobrol sampai kereta sampai di Stasiun Balapan Solo dan ada sepasang penumpang yang melengkapi kursi berhadapan kami, selepas Solo saya berusaha untuk tidur dan ketika sampai di Kediri, pemuda itu saya bangunkan dalam tidurnya yang lelap.
Ada sepasang suami istri duduk di depan tempat duduk saya dengan logat dan bahasa khas Makasar. Pagi itu kereta tiba di Stasiun Kepanjen dan tiba saat untuk bersiap-siap turun karena setelah Stasiun Kota Lama tempat tujuan terakhir akan sampai. Ternyata mereka dari Solo naik ke Malang dalam rangka ujian promo S3 di kampus yang sama, UNIBRAW dengan jurusan FIA (Fakultas Ilmu Administrasi) dan seorang bapak berkata kalau yang ujian adalah dirinya dan berdinas di Universitas Negeri Makasar. Pembicaraan kami diakrabkan oleh sebungkus permen kopi hitam yang disodorkan ketika saya memotret Gunung Semeru dari balik kaca kereta. Saya mengatakan kalau punya sahabat-sahabat orang Makasar (Kerabat ANTRO UNHAS, angkatan jadul tentunya) dan ada hutang pada mereka untuk suatu hari kelak main ke sana. Saya juga bilang kalau hanya bisa bahasa Makasar cuma "Pa Kareba? Baji-baji saja" . Mereka tersenyum dan mengatakan kalau menekuni ilmu budaya (baca: Antropologi) harus memahami bahkan bisa berbahasa banyak etnis. Beliau membandingkan penelitian gaya orang barat yang tinggal begitu lama di satu kawasan yang awalnya dianggap asing sampai bule itu bisa bahasa setempat. Pembicaraan berakhir setelah kereta berhenti di Stasiun Malang pada senin pagi dan saya berpamitan untuk berangkat mengajar pagi. 

Bonus Pict: Semeru senin pagi diambil dari jendela kereta di sela-sela persawahan antara Kepanjeng - Malang 


Selamat Pagi Semeru 


Subscribe to receive free email updates: